Saat jam antik di restoran bernama Hanggareksa berdentang dua belas kali, satu per satu dari mereka yang sedang menyantap makanan tersungkur dan meregang nyawa. Sandi yang baru beberapa menit masuk di restoran itu, segera berlari ke luar untuk mencari bantuan. Namun, saat dia menoleh ke belakang, yang dia dapati hanya restoran sepi yang terpampang tulisan “TUTUP”.
akdir telah mempertemukan kami, seorang manusia biasa dengan lima anak kecil yang pernah menjadi manusia. Menjalin hubungan lebih dari sekedar persahabatan. Darah kami berbeda, jasad kami berbeda, jasad kami berbeda, langkah kami tak sama, tapi sebuah benang telah mengikat hati kami–tak terpisahkan.
Tuhan, nama gadis manis yang kutulis dengan tanganku apakah sama dengan nama yang ada di tangan-Mu?
Merindukanmu sewajarnya, mengingatmu seperlunya, dan merelakanmu seutuhnya. Aku yakin, aku pasti mampu merelakanmu, tak seharusnya perasaan yang pernah ada untukmu menjadi sebuah penjara yang menjadikanku tidak bebas. Tak seharusnya aku tetap berharap pada hati yang sudah membuatku merasa tak berharga. Dan sudah seharusnya merelakanmu adalah caraku menghargai diriku.
Menguatlah untukku. Karena padamu, kusemogakan segala harapan-harapan baik. Bersetialah untukku. Karena pada genggaman tanganmu, kutitipkan harapan-harapan besar di masa depan.
Seberapa banyak aku terluka saat mencintai, sebanyak itu pula aku belajar untuk menjadi lebih dewasa dalam menyingkapi permasalahan.
Jarak yang membentang di antara kita pasti akan menguatkan, katamu waktu itu meyakinkanku. Membuatku mantap melangkahkan kaki ke kota lain meski kita sedang sayang-sayangnya.