Text
PANGGIL AKU KARTINI SAJA
Jika menyebut nama “Kartini”, maka langsung terbersit di benak kita: seorang wanita berparas ayu, memakai sanggul, berkebaya putih, berkulit kuning langsat. Jika ditanya “siapa itu Kartini?”, pasti sebagian besar jawaban hanya berkisar antara pendekar emansipasi wanita, pejuang wanita yang menolak diperlakukan secara diskriminasi, dan hal-hal serupa lainnya. Tapi benarkah demikian? Benarkah Kartini yang bergelar Raden Ajeng itu hanya seorang pejuang emansipasi wanita? Apa saja sebenarnya yang dilakukan seorang Kartini? Siapa dia sesungguhnya?
“Panggil aku kartini saja” dari judul buku ini saja sudah tersirat sebuah kerendahhatian dari sosok yang diceritakan dalam biografi ini. Melalui buku ini, membawa kita lebih mengenal dekat sosok kartini dalam mata Pram. Meskipun agak sulit dan belum sempurna disebabkan minimnya biaya riset dan kesulitan pelacakan historisnya, terkait dokumen-dokumen yang dimaksudkan tak diketahui jejaknya. Juga narasumber di Belanda yang sulit dilacak.
Pramoedya Ananta Toer, seorang penulis novel berlatar belakang sejarah, seolah menegaskan dirinya tetap konsisten mengangkat sejarah Indonesia, terutama zaman sebelum pergerakan nasional, seperti yang dilakukannya dengan menulis tetralogi pulau Buru yang terkenal itu.
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora pada 6 Februari 1925. Selain sebagai pengarang, bermacam profesi telah dijalani Pramoedya seperti juru ketik Kantor Berita Dome (1942-1944), wartawan majalah Sadar (1947) dan kenber "Lentera" suratkabar Bintang Timur (1962-1965), dan dosen di Fakultas Sastra Universitas Res Publica (1936-1965) serta di Akademi Jurnalistik Dr. Rivai (1964-1965). Menulis sejak di bangku sekolah dasar, hingga kini Pramoedya telah menghasilakn tidek kurang dari 35 buku, fiksi maupun nonfiksi.
Dalam buku ini Pram memulainya dengan kekalahan perang diponegoro, yang berlanjut ke politik tanam paksa Van den Bosch yang menyengsarakan rakyat berkali lipat. Lalu penjelasan tentang silsilah kartini dan para leluhurnya yang termasuk dalam kaum ksatria, sehingga bila disejajarkan menurut kasta hindu yang artinya termasuk golongan bangsawan. Kemudian masuk ke masa kelahiran, masa kecil, bersekolah, hidup dalam pingitan hingga kembalinya kebebasan kartini untuk melongok dunia luar yang mendekatkan dirinya pada kotanya, Jepara. Beranjak dewasa, ditemani buku semasa dalam pingitan yang sebenarnya juga merupakan pelarian dirinya atas keresahan budaya pingitan jawa, sehingga ia beralih ke dunia pustaka. Kartini mulai melihat adanya perbedaan, jurang pemisah antara kelompok pribumi dan belanda. Kemiskinan, sistem kasta yang berlaku terutama di kalangan pribumi/jawa sendiri. Feodalisme yang membuatnya resah mengenai dunia pribumi yang dikenalnya. Sedang pada saat bersamaan, ia mengenal dunia barat dan menguasai alatnya, yaitu bahasa belanda. Ia temukan setitik jalan keluar bagi bangsanya melalui bacaan, dan budaya barat yang dalam hal ini diwakili oleh eropa atau Belanda khususnya di Indonesia--sebagai kekuatan terbesar di zamannya.
Kartini berjuang melalui seni. Seni utama yang ia kuasai tentulah mengarang. Namun ia juga menghayati seni membatik, melukis, bermusik, dan menggagas kehidupan yang lebih baik untuk para seniman di Jepara. Berkat dirinya pula, Jepara dikenal akan ukirannya oleh orang Belanda. Kemudian Pram menutup buku ini dengan menjelaskan sedikit tentang kondisi kejiwaan kartini. Tentang pandangannya akan Tuhan, yang pada masa itu ia mengakui bahwa ilmu agama tak dipelajari dengan baik. Maka meski menganut Islam, Kartini tidak menutup diri akan beragam pengetahuan agama lain selain itu dikabarkan ia juga menguasai Injil. Ia berpegangan bahwa Tuhannya adalah kebajikan dan cinta, lebih pada kebatinan. Bahkan, disinyalir ia memiliki kemampuan berbicara dengan roh dan bertelepati. Pada akhirnya, ia mengedepankan akal/ilmu sebelum beribadah. Kartini cukup kritis dan memiliki daya observasi serta intelegensi yang cukup tinggi bagi wanita sebangsanya di masa itu.
Ini memang bukan murni buku biografi semata. Di dalamnya ada banyak interpretasi Pram tentang Kartini beserta kondisi sosial budaya yang menyertainya. Karena itu tak berlebihan rasanya jika dikatakan buku ini lebih merupakan pembahasan Pram mengenai sosok Kartini dan pemikiran-pemikirannya. Bahkan Pram berani berpendapat bahwa Kartini bukan sekadar pejuang emansipasi wanita, melainkan juga pemikir modern Indonesia yang pertama! Menurut Pram, tanpa adanya sosok Kartini, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin terjadi.
Tidak tersedia versi lain