Text
Kekerasan Simbolik di Sekolah :sebuah ide sosiologi pendidikan Pierre Bourdieu
Kekerasan merupakan suatu istilah yang tidak asing kita dengar di telinga kita, dan terkadang ketika mendengar istilah tersebut, sebagian besar diantara kita akan mengarahkannya pada sebuah peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan mematikan. Kekerasan juga dinilai sebagai sebuah tindakan yang melanggar HAM (Hak Asasi Manusia), suatu konsep yang sedang menjadi fokus perhatian kita di bebagai forum diskusi. Kekerasan dalam dunia pendidikan juga dapat terjadi karena motif menunjukkan rasa solidaritas, proses pencarian identitas atau jati diri, serta kemungkinan adanya gangguan psikologis dalam diri siswa maupun guru. Misalnya tawuran antar pelajar dapat dilatarbelakngi karena siswa merasa menjadi satu golongan yang âmembela temanâ atau siswa merasa menjadi satu golongan yang âmembela sekolahnyaâ. Beberapa kasus tawuran antar pelajar bahkan mengakibatkan tewasnya beberapa pelajar dan bahkan orang lai yang tidak terlibat pun dapat menjadi sasaran tawuran. Di Indonesia sendiri kasus tawuran antar pelajar sudah terjadi puluhan bahkan ratusan kali. Ulasan pada pada bagian diatas merupakan sebuah uraian mengenai fenomena kekerasan fisik. Kekerasan fisik dan kekerasan psikologis hanyalah bentuk kekerasan yang wujudnya âmudah dikenaliâ dan dampaknya juga mudah untuk diamati. Namun banyak pihak yang tidak menyadari bahwa adanya bentuk kekerasan lain yang hampir selalu terjadi di sekolah setiap hari. Bentuk kekerasan tersebut adalah âkekerasan simbolikâ. Bentuk kekerasan ini hampir tidak pernah menjadi perhatian berbagai pihak, padahal jika diamati, bentuk kekerasan inilah yang memberikan dampak yang cukup besar, terutama dampak bagi masyarakat secara makro. Konsep ini dikemukakan oleh Bordieu, seorang sosiolog dari Perancis. Bourdieu menggunakan konsep ini untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok elit atau kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk âmemaksakanâ ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok kelas bawah yang didominasinya. Rangkaian budaya ini oleh Bourdieu disebut juga sebagai habitus. Akibatnya masyarakat kelas bawah, dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikkan, dan mengakui bahwa habitus kelas atas merupakan habitus yang pantas bagi mereka (kelas bawah), sedangkan habitus kelas bawah merupakan habitus yang sudah selayaknya âdibuang jauh-jauhâ. Kekerasan simbolik sebenarnya jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik karena kekerasan simbolik melekat dalam setiap bentuk tindakan, struktur pengetahuan, struktur kesadaran individual, serta memaksakan kekuasaan pada tatanan sosial. Banyak mekanisme atau cara yang digunakan kelompok kelas atas untuk memaksakan habitusnya, salah satunya melalui lembaga pendidikan. Mekanisme sosialisasi habitus kelompok atas ini pun dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Kita dapat melihat bagaimana anak-anak di sekolah diwajibkan memakai sepatu, seragam, serta berbagai atribut atau cara berpakaian kelompok atas yang juga harus dilakukan kelompok kelas bawah. Dengan kata lain, siswa dari kelas bawah dipaksa untuk berbusana âlayaknyaâ kelas atas, mereka dipaksa menerima habitus kelas atas.
Tidak tersedia versi lain